Indeks Saham Tokyo Dibuka Lebih Rendah

Kontak Perkasa | Dinkes DKI Sebut Tren Penderita ISPA Meningkat 2016-2018

Dinkes DKI Sebut Tren Penderita ISPA Meningkat 2016-2018 

Kontak Perkasa - Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta menyatakan tren penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) meningkat sepanjang tahun 2016-2018.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia menjelaskan faktor penentu tertinggi status derajat kesehatan masyarakat adalah faktor lingkungan termasuk kualitas udara yakni mencapai 40 persen. Sisanya adalah faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor genetika.

Faktor lingkungan di daerah perkotaan biasanya disebabkan oleh polusi udara dan sanitasi yang kurang baik.

"Berdasarkan laporan rutin dari fasilitas pelayanan kesehatan di DKI Jakarta, jumlah kasus ISPA pada tahun 2016 sampai 2018 berturut-turut sebanyak 1,801,968 kasus (2016), 1.846.180 kasus (2017), dan 1.817.579 kasus (2018)," ujar Dwi dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/7).

Sedangkan pada Januari hingga Mei 2019 terdapat 905.270 kasus ISPA.

"Penyebab kejadian ISPA bersifat multikausal, bukan hanya disebabkan polusi udara. Hal ini terlihat dari tren penurunan jumlah kasus di Triwulan II di mana menurut prediksi BMKG, DKI Jakarta mengalami musim
kemarau dan konsentrasi polutan terakumulasi di udara," ujar Dwi.

Baca Juga : Ini Investasi yang menarik di Tahun Politik

Sedangkan menurut data Riskesdas 2018, gambaran penyakit berhubungan dengan polusi udara di DKI Jakarta menunjukan ISPA, ISPA Balita, dan asma kambuh menjadi penyakit yang paling banyak diderita.

Oleh karena itu Dinkes DKI Jakarta mengajak masyarakat untuk melakukan pencegahan dan pengendalian terhadap faktor penyebab ISPA.

"Hindari asap rokok dan jauhkan anak-anak dari paparan asap rokok. Anak-anak berisiko terkena serangan asma yang lebih sering dan berat, infeksi saluran pernapasan, dan sindrom kematian bayi mendadak Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) akibat polusi asap rokok," ujar Dwi.

Kualitas udara Jakarta mencuat seiring tak turun-turunnya hujan akibat musim kemarau setidaknya sejak Mei lalu. Itu pun ditambah dari pemantauan berkala dari situs AirVisual yang menunjukan indeks kualitas udara di DKI Jakarta menjadi yang terburuk di dunia.

Terakhir, diukur adalah kondisi kualitas udara pada Minggu (28/7) pagi pukul 08.00 WIB. Pagi itu tercatat 189 kategori tidak sehat dengan parameter PM2.5 konsentrasi 128,5 ug/m3 berdasarkan US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara.

Ketika menggunakan acuan US AQI maka hasil analisa pencemaran udara untuk parameter PM2.5 dengan konsentrasi 0-10 ug/m3 termasuk kategori sedang, lalu 36 hingga 55 ug/m3 kategori tidak sehat untuk kalangan tertentu.

Kemudian, 56-65 ug/m3 adalah kategori tidak sehat, 66-100 ug/m3 kategori sangat tidak sehat dan 100 ug/m3 ke atas kategori berbahaya.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan buruknya kualitas udara di Ibu Kota disebabkan beberapa hal seperti jumlah kendaraan, industri, debu jalanan, rumah tangga, pembakaran sampah, pembangunan konstruksi bangunan, dan Pelabuhan Tanjung Priok.

"Data yang kami miliki pada 2018 tercatat sembilan juta kendaraan roda empat dan 21 juta kendaraan roda dua di wilayah Jabodetabek," tuturnya.