Indeks Saham Tokyo Dibuka Lebih Rendah

Teror Eropa, Proxy War, Indonesia Waspada


Kontak Perkasa - Dalam waktu yang berurutan, Turki, Jerman dan Swiss diserang teror. Di Turki, Duta Besar Rusia Andrei Karlov tewas ditembak oleh seorang anggota polisi anti huru hara Turki, Mevlut Mert Altintas.

Dalam video di media sosial sejak 1 jam setelah penembakan, tampak nyata Mevlut menembak dubes Andrei dari belakang. Si pelaku, juga menyusul tewas setelah diserbu pasukan anti teror Turki. 

Pemerintah Turki belum mengeluarkan pernyataan resmi tentang kelompok dibalik aksi Mevlut, walaupun media pro pemerintah dengan segera menuding Mevlut adalah bagian dari organisasi Gullenist yang terlarang karena peristiwa percobaan kudeta Juli 2016.

Sayangnya, Mevlut tewas sehingga tidak ada konfirmasi langsung tentang motif dan kelompok di balik aksinya. Kita hanya tahu bahwa Mevlut berteriak "Jangan lupakan Aleppo, Jangan Lupakan Suriah" sesaat setelah penembakan terjadi.

Di Jerman, sebuah truk melaju dengan kecepatan sekitar 65 kilometer per jam menabrak kerumunan warga yang sedang berbelanja pernak-pernik natal di sebuah bazaar, tak jauh dari gereja memorial Kaiser Wilheim, Berlin. Korban tewas 12 orang, dan lebih dari 25 orang luka luka.

Kantor juru bicara ISIS Amaaq Agency mengklaim, serangan itu dilakukan oleh pendukung Isis di Jerman.

Oposisi Jerman langsung menuding kebijakan Angela Merkel yang dianggap terlalu lunak pada pengungsi (terutama dari Timur Tengah) menjadi penyebab utama.

Di Zurich, Swiss, seorang penembak menyerbu masuk ke gedung Islamic Centre di tengah kota. Serangan ini melukai tiga umat muslim yang sedang berada di dalamnya.

Pengamat setempat menyebut, serangan itu merupakan puncak dari gunung es kekhawatiran warga akan bertambahnya imigran muslim di Swiss. Laporan statistik menunjukkan, populasi muslim di Swiss meningkat hingga lima persen tahun ini dan itu menimbulkan kekhawatiran dari warga asli (native) Swiss.

Proxy War

Pertanyaannya, apakah tiga peristiwa berurutan di hari Senin itu itu berkaitan? Apakah ini merupakan bentuk proxy war yang sedang berlangsung di kawasan Timur Tengah dan Eropa? Untuk menjawabnya, tentu kita harus merujuk ulang definisi proxy war.

Istilah proxy war mulai lazim digunakan di era perang dingin antara Amerika Serikat melawan Uni Soviet (Rusia, sekarang).

Definisi paling ringkas: proxy war adalah sebuah upaya perang, upaya serangan, yang dilakukan dengan menggunakan tangan ketiga terhadap negara sasaran. Tangan ketiga ini bisa berupa negara lain yang lebih kecil, bisa juga aktor non negara (non state actor).

Dalam konteks serangan Turki, dugaan proxy war muncul karena ada dua kepentingan negara besar yang saling berseberangan di Suriah.

Amerika Serikat mendukung oposisi menggulingkan Bashar Assad, sebaliknya Rusia tetap mendukung Bashar Assad dan anti terhadap gerakan oposisi. Posisi Turki yang secara geografis paling dekat dengan Suriah (dibandingkan AS dan Rusia) tentu menjadi perebutan. Apalagi, di bawah Erdogan, Turki dianggap sebagai negara yang makin konsolidatif kekuatan militernya dan punya pengaruh besar terhadap gerakan Islam di seluruh dunia.

Dalam konteks Jerman dan Swiss, ada benang merah yang terhubung dengan ISIS.

Pernyataan juru bicara ISIS Muhammad Al Adnani pada medio 2014 agar semua simpatisan ISIS di seluruh dunia melakukan serangan dengan alat apapun yang dimiliki, mengilhami serangan Berlin.

Apalagi, ISIS memang tidak ingin muslim eksodus ke luar dari Irak dan Suriah karena menurut mereka setiap muslim seharusnya pergi ke Irak dan Suriah. Mereka seharusnya menjadi warga kekhalifahan Al Baghdadi, bukan justru lari dan berlindung di pemerintahan negara-negara yang dianggap sebagai kafir dan thaghut.

Indonesia Waspada

Krisis di Suriah dan serangan teror di Eropa seharusnya menjadi pelajaran penting bagi aparat keamanan di Indonesia, terutama bagi intelijen.

Kita harus objektif bahwa banyak dari anak bangsa Indonesia yang sudah terpengaruh dengan ideologi ISIS, yang sangat mungkin akan terus melakukan teror.

Menjelang Natal dan Tahun Baru, intelijen harus segera melakukan penggalangan kewaspadaan masyarakat agar situasi menjadi damai.

Setiap potensi friksi sekecil apapun, bahkan di media sosial sekalipun, harus segera ditanggapi dengan cepat sebelum kemudian membesar dan intelijen mengalami sebuah kondisi yang disebut pendadakan strategis.

Ini tantangan bagi pemerintahan Jokowi, terutama mengkonsolidasikan potensi intelijen yang tersebar di beberapa instansi, misalnya BAIS, Baintelkam, BIN, dan tim intelijen di bawah Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen Gories Mere.

Tanpa sinergisitas, lawan akan mudah melakukan upaya pecah belah dan hanya tinggal menunggu waktu, Indonesia masuk dalam jebakan proxy war negara lain. cnnindonesia.com