Indeks Saham Tokyo Dibuka Lebih Rendah

Kontak Perkasa | Kisruh Angka Kemiskinan, Data BPS Paling Diakui

Kisruh Angka Kemiskinan, Data BPS Paling Diakui

Kontak Perkasa - Kemiskinan di sebuah negara merupakan salah satu masalah yang sangat krusial. Sebab dari angka kemiskinan akan mencerminkan keberhasilan sebuah negara untuk membuat rakyatnya sejahtera.

Beberapa waktu terakhir, terjadi kisruh soal data kemiskinan RI. Awalnya Presiden ke 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut jika jumlah orang miskin di Indonesia masih berada di kisaran 100 juta orang, angka ini artinya hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia.

Setelah SBY, ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto juga menyebut jika kemiskinan di Indonesia naik 50%. Penyebab kenaikan ini adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tertekan sehingga menyebabkan harga melambung tinggi.

Padahal data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jika angka kemiskinan terus mengalami penurunan sejak periode 2002. Dan periode Maret 2018 merupakan angka kemiskinan terendah sepanjang sejarah.

Baca juga : Bitcoin 'Bikin Sakit', Lebih Baik Pilih Emas

Siapa pemilik data kemiskinan yang diakui?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2013 jumlah penduduk miskin 28,07 juta orang, persentasenya 11,22%.

Nah, menurut data BPS di Maret 2018 jumlah penduduk miskin 25,9 juta orang.

"Persentase nya 9,82%. Jadi 5 tahun ini berkurang sekitar 2,17 juta orang atau turun 1,4%," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Selasa (31/7/2018).

Dia menambahkan jika ada pihak yang mengklaim angka kemiskinan naik 50% maka hal tersebut tidak benar.

"Sejauh ini data kemiskinan yang diakui adalah data BPS," kata Bhima.

Bhima juga memberi catatan pada BPS. Dia mengatakan Pengukuran jumlah penduduk miskin oleh BPS hanya dihitung berdasarkan pengeluaran per penduduk saja, tidak memasukkan penghitungan berdasarkan aset atau pendapatan.

Menurut Bhima bisa saja orang itu berutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga masuk ke atas garis kemiskinan, padahal pendapatannya di bawah Rp 400 ribu/bulan.

"Ya itu kemiskinan yang disebut semu. Artinya ini kritik juga bagi BPS agar membuat survey kemiskinan dengan metode yang lebih komprehensif," ujar Bhima.

"Mengenai BPS, nggak ada yang salah, karena BPS itu metodologinya menghitung angka kemiskinan dari 2.100 kalori (kebutuhan pangan). Ya itu wajar kalau angkanya turun," kata Ekonom Indef Enny Sri Hartati ditemui di Jakarta, Selasa (31/7/2018).

Baca juga : Tahun 2018, Bisnis Investasi Dinilai Tetap Menarik

Sementara itu, Enny memperkirakan Prabowo menghitung angka kemiskinan dengan metode atau standar yang berbeda dengan BPS.

"Nah sekarang mungkin Pak Prabowo atau misalnya orang lain bukan pak Prabowo menghitung angka kemiskinan berdasarkan standar ILO (International Labour Organization,) misalnya," lanjutnya.

Hingga akhirnya kedua data masing-masing pihak berbeda, menurutnya hanya masalah perbedaan cara menginterpretasikan metodologi dalam mengukur kemiskinan.

"Ya perbedaan ketika mengintepretasikan antar metodologi yang untuk mereplika realitas itu berbeda. Nah kalau kita ini kan mestinya bagaimana memotret data itu kan untuk memotret realitas. Nah mestinya harus diukur dengan perkembangan dari realitas di masyarakat," jelasnya.

Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto mempertanyakan dari mana data Prabowo terkait kemiskinan naik 50%.

"Angka dari mana dulu? kalau kita ngomong kan harus pakai data kan," katanya saat ditemui usai menghadiri diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Kantor Kemenkominfo, Jakarta, Senin (30/7/2018).

"Kalau cuma ngomong, nggak pakai data ya susah ya. Cek saja data yang ada. Jadi kalau sebuah statement nggak ada datanya agak susah kita mengkonfirmasi," lanjutnya.

Mengutip Berita Resmi Statistik (BRS) yang diterbitkan BPS untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach).

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukut dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.

Kemudian BPS juga menghitung garis kemiskinan yang caranya terdiri dari dua komponen yakni menghitung garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Selanjutnya untuk GKM adalah nilai pengeluaran masyarakat berdasarkan kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori perkapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi antara lain padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah buahan, minyak dan lemak.

Kubu SBY merespons bahwa jumlah 100 juta didasarkan pada 40% orang dengan kelompok berpendapatan rendah. Jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 263 juta, maka ada sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang berpendapatan rendah.

Tak hanya SBY, ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut kemiskinan di Indonesia meningkat 50%.
Ini karena kondisi negara yang kurang baik, dari nilai rupiah yang terus memburuk hingga harga bahan pokok terus melonjak.

"Mata uang kita tambah, tambah rusak, tambah lemah. Apa yang terjadi adalah dalam 5 tahun terakhir kita tambah miskin, kurang-lebih 50% tambah miskin," tuding Prabowo akhir pekan lalu.

Di sisi lain BPS telah merilis data orang miskin di Indonesia sudah berada di posisi single digit, karena turun 0,30% dibanding September 2017. Pada Maret 2018 posisi persentase kemiskinan tercatat 9,82% lebih rendah dibanding sebelumnya 10,12%.

Cuma, yang masih menjadi PR, perbandingan angka kemiskinan antara kota dan desa masih tinggi. Angka kemiskinan di desa 13,20% atau 15,81 juta orang, sementara di kota 7,02% atau 10,27 juta orang.

BPS menyampaikan penurunan angka kemiskinan per Maret 2018 dikarenakan beberapa faktor, seperti inflasi umum periode September 2017-Maret 2018 sebesar 1,92%, rata-rata pengeluaran perkapita/bulan untuk rumah tangga yang berada di 40% lapisan terbawah selama periode itu tumbuh 3,06%.

Selanjutnya, bansos dari pemerintah tumbuh 87,6% di kuartal I-2018, selanjutnya adalah program beras sejahtera atau rastra dan bantuan pangan non tunai yang tersalurkan sesuai jadwal.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut Indonesia tambah miskin dalam waktu 5 tahun terakhir dan Ini terjadi karena mata uang rupiah rusak dan terus melemah.

"Mata uang kita tambah, tambah rusak, tambah lemah. Apa yang terjadi adalah dalam 5 tahun terakhir kita tambah miskin, kurang-lebih 50% tambah miskin," tuding Prabowo akhir pekan lalu.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan dalam 5 tahun kemiskinan di Indonesia berkurang 2,17 juta orang atau turun 1,4%. Menurut dia klaim kemiskinan naik 50% tidak benar.

"Sejauh ini data kemiskinan yang diakui adalah data BPS, kecuali pak Prabowo melakukan survei sendiri atau sumber lain mungkin bisa dijelaskan ke publik agar informasi nya utuh," terang Bhima.

"Mungkin Pak Prabowo hanya mengingatkan bahwa ikhtiar penurunan kemiskinan masih jauh dari kata selesai," sambung Bhima

Tapi terlepas klaim yang kurang update, ada beberapa catatan terkait tingkat kemiskinan. Bhima menjelaskan pengukuran jumlah penduduk miskin oleh BPS hanya dihitung berdasarkan pengeluaran per penduduk saja tidak memasukkan penghitungan berdasarkan aset atau pendapatan.

Bisa saja kan orang itu berutang untk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga masuk ke atas garis kemiskinan. Padahal pendapatannya dibawah Rp 400 ribu per bulan. Itu kemiskinan yang disebut semu.

"Artinya ini kritik juga bagi BPS agar membuat survey kemiskinan dengan metode yang lebih komprehensif," kata Bhima.