Indeks Saham Tokyo Dibuka Lebih Rendah

Kontak Perkasa | Sekolah Bukan "Pegadaian" yang Serba Bisa Menyelesaikan Masalah

Sekolah Bukan "Pegadaian" yang Serba Bisa Menyelesaikan Masalah 

Kontak Perkasa - Membincangkan tema pendidikan di negeri ini seperti tidak pernah selesai. Akumulasi persoalan semakin menumpuk. Mulai kurikulum yang padat, kualitas guru yang masih rendah, hingga bangunan sekolah yang tidak layak pakai. Belum lagi ditambah beban belajar siswa. Apakah siswa menemukan kebebasan akademik dan berekspresi di sekolah?

Pikiran saya bertambah gatal manakala seorang kawan mengirim pesan singkat lewat Whatsapp. Ia menanyakan sekolah yang berada di atas standar itu bagaimana?

Seketika saya mati kutu, seperti orang kalah main catur. Menjawab persoalan pendidikan yang cukup pelik dan kompleks, melalui Whatsapp pula, bagaikan mengarungi samudra Pasifik dengan menggunakan perahu sampan. Berat dan ngoyo!

Saya urungkan mengirim data tentang, misalnya, nilai rata-rata kompetensi guru dari jenjang SD, SMP, hingga SMA cukup mengkhawatirkan. Nilai uji kompetensi 2015 masih berada di bawah standar minimal.

Pada 2018 Research on Improving Education Systems (RISE) di Indonesia juga merilis data. Hanya 12,43 persen guru sekolah dasar yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran literasi baca tulis, dan 21,27 persen yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran matematika.

Baca Juga : Menengok prospek bisnis investasi di tahun politik

Dengan kualitas guru yang belum memadai, tuntutan akademik di sekolah justru berlangsung cukup tinggi. Hal ini agak mengkhawatirkan. Tekanan dan ekspektasi yang kuat membuat siswa tidak selalu termotivasi.

Belajar yang semestinya berlangsung secara menggembirakan gagal diselenggarakan. Kemungkinan perlakuan yang buruk kerap menimpa siswa yang tidak berhasil memenuhi ekspektasi guru.

Sejak duduk kelas satu Sekolah Dasar siswa harus bergumul dengan teks buku pelajaran. Siswa dituntut agar lancar membaca. Para orangtua pun kelabakan.

Mereka mengambil jalan pintas: mengirim anak ke guru les. Tuntutan bisa membaca dan menulis sedini mungkin semakin mewabah. Akibatnya, beredar kesimpulan di kalangan orangtua bahwa sebelum masuk sekolah dasar anak harus sudah bisa baca dan tulis.

Ini merupakan bentuk tekanan dan ekspektasi yang diakibatkan tingginya tuntutan akademik dari sekolah. Alih-alih melatih logika berbahasa dan berhitung, siswa didorong sekadar bisa baca dan tulis. Hanya itu, lain tidak.

Bila para guru tidak kompeten mengajar logika dasar baca tulis dan berhitung, tidak mengherankan standar kualitas pendidikan berada dalam kategori rendah.

Pendidikan yang menjadi ladang menyemai bibit peradaban, rontok sebelum berbuah. Fakta bahwa siswa telah menjadi "anak baik-baik" yang dibuktikan dengan nilai sangat memuaskan di rapor, tiba-tiba menjadi seperti "bukan anak Mama" saat berinteraksi di kehidupan nyata. Delusi sekolah ini patut diwaspadai.

Ini merupakan bentuk tekanan dan ekspektasi yang diakibatkan tingginya tuntutan akademik dari sekolah. Alih-alih melatih logika berbahasa dan berhitung, siswa didorong sekadar bisa baca dan tulis. Hanya itu, lain tidak.

Bila para guru tidak kompeten mengajar logika dasar baca tulis dan berhitung, tidak mengherankan standar kualitas pendidikan berada dalam kategori rendah.

Pendidikan yang menjadi ladang menyemai bibit peradaban, rontok sebelum berbuah. Fakta bahwa siswa telah menjadi "anak baik-baik" yang dibuktikan dengan nilai sangat memuaskan di rapor, tiba-tiba menjadi seperti "bukan anak Mama" saat berinteraksi di kehidupan nyata. Delusi sekolah ini patut diwaspadai.