Indeks Saham Tokyo Dibuka Lebih Rendah

China Larang Software Asing Disebut Buntut Perang Dagang

China Larang Software Asing Disebut Buntut Perang Dagang 

Kontak Perkasa Futures - Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menanggapi kebijakan pemerintah China melarang perangkat lunak (software) dan perangkat komputer asing dari kantor pemerintahan dan institusi publik.

Menurut Pratama, kebijakan pemerintah China tersebut merupakan dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China.

Meski tidak menyebutkan secara spesifik negara yang masuk kategori 'asing' tersebut, Pratama menjelaskan kebijakan ini akan mengancam perusahaan AS seperti Microsoft, HP hingga Dell.

"Langkah China melarang penggunaan komputer dan software asing adalah bagian langkah balasan atas langkah AS membatasi penggunaan produk China di AS. Huawei, ZTE dan beberapa produk lain China telah resmi dilarang, puncaknya Google dilarang bekerja sama dengan Huawei," kata Pratama saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (10/12).

Baca Juga : Menengok prospek bisnis investasi di tahun politik

Pratama mengatakan kebijakan China ini terkesan berani, sebab China harus menyiapkan dan membangun ekosistem dari awal. Bagi Pratama, China sudah terlihat gelagatnya melakukan berbagai persiapan untuk 'menyingkirkan' komputer dan software asing.

Dari sisi perangkat lunak, perusahaan gadget asal China, yaitu Huawei telah meluncurkan sistem operasi Hongmeng atau HarmonyOS yang disebut-sebut akan menggantikan peran Android milik Google.

Di satu sisi, Pratama menegaskan bahwa penyingkiran perangkat lunak dan perangkat komputer asing untuk mencegah aktivitas spionase. Sejak 2014, whistleblower Edward Snowden mengemukakan dosa-dosa badan intelijen National Security Agent (NSA).

Snowden mengungkapkan bahwa AS menanamkan alat khusus pada alat pendukung pekerja untuk melakukan aktivitas spionase.

"(Pelarangan) adalah jawaban atas isu Edward Snowden, menuduh AS lewat National Security Agency (NSA) menggunakan implan dalam produk teknologi untuk melakukan pengumpulan intelijen asing. Penggunaan produk teknologi yang meningkat memungkinkan pengumpulan data lewat berbagai perangkat teknologi," kata Pratama

Oleh karena itu, Pratama mengingatkan bahwa perang dingin sudah memasuki babak baru antara AS dan China sedang. Sementara itu, Indonesia harus berhati-hati menyikapi kondisi ini. Ancaman siber di Indonesia akan semakin tinggi jika pemerintah tidak cekatan, untuk itu pemerintah harus bertindak setidaknya melahirkan kebijakan siber yang dapat melindungi pengguna.

"Indonesia harus lebih hati-hati dalam melahirkan regulasi dan UU terkait data dan dunia siber," tutup Pratama.